Paradikma pendidikan yang menilai
siswa adalah objek pendidikan hanyalah paradikma primitif. Siswa
dalam pandangan baru pendidikan adalah subjek semana layak seorang
manusia dengan berbagai macam potensi yang dimiliki. Siswa bukanlah
kertas kosong (konsep tabula rasa) yang harus dihitami oleh
para gurunya melainkan subjek yang menuntut keterlibatan aktif
sehingga potensi-potensi yang dimilikinya bisa dikembangkan.
Memahami konsep ini, seorang guru dianjurkan untuk tidak memakai
cap-cap negatif terhadap siswanya. Disini yang diharapkan guru
adalah motivator dalam menumbuhkan motivasi belajar siswa karena
menurut Mathev sorang dosen psikologi disalah satu universitas
Amerika, mengatakan bahwa faktor pikiran sangat mempengaruhi
pola pikir. Ada semacam analogi yang dibuatnya yakni "ketika
orang berpikir kaya maka dia akan kaya", sebaliknya
"ketika dia berpikir miskin maka dia miskin".
Jika analogi ini diterapkan dalam dunia pendidikan maka selayaknya
cap-cap yang menilai siswa goblok, siswa paling ribut dan paling
nakal harus dihilangkan.
Pandangan yang menegaskan bahwa siswa adalah subjek pendidikan
akan mencapai target jika tidak untuk memenuhi kasana konsep,
melainkan ada suatu pembuktian praktis berupa kegiatan-kegiatan
yang mendukung seperti diskusi kelompok, sharing dengan guru,
belajar dari alam, belajar di ruang terbuka, fun reading, atau
kegiatan ektrakurikuler. Hal ini mengisyaratkan perombakan metode
hafalan bagi siswa karena mereka bukan “beo-beo”
untuk dilatih menghafal kata-kata dan mengekor seperti “bebek”
pada gurunya. Konsep ini mau menepis istilah “Guru
Kencing Berdiri Siswa Kencing Berlari”. Harapan terwujudnya
ketika siwa mempunyai kepandaian selektif untuk mengenal mana
yang harus diteladani dari gurunya. Tetapi jika siswa hanya
memiliki kepandai menghafal maka dia akan menilai semua yang
dilakukan gurunya benar walaupun gurunya sedang keliru, sementara
manusia pada umum tidak ada yang sempurna sesempurna Sang Pencipta.
Melihat siswa dengan rata-rata usia masih cukup belia, sangat
disayangkan jika rasa ingin tahunya dimatikan dengan metode
guru yang cuma melatih siswanya menghafal abjad untuk diingat
kembali. Alfabet seorang penemu abjad, tentu punya
harapan besar yakni dengan abjad yang dirancangnya manusia bisa
menguntaikan hasil pemikirannya, kata demi kata agar bisa dikomunikasikan
kepada kalayak. Dari pengkomunikasian pemikirannya kepada kalayak
ada semacam pembuktian diri sebagai pribadi atau dalam kata
Andreas Hareva pada bukunya “menjadi manusia pembelajar”
yakni by your self atau menjadi diri sendiri.
|